Sumber : forwarded email > lusie
Sehari sebelum saya terima kabar dari kampung,
dalam sebuah dialog antara pemerhati pecandu
Narkoba, seorang ibu bercerita. Katanya, tak ada
kesakitan yang lebih mencekam ketimbang cengkraman
Narkoba pada anaknya.Dengan menahan tangis dan
sedikit dendam, ia mengatakan anaknya adalahkorban
dari hilangnya lelaki dewasa (ayah) dalam putaran
kehidupan
rumah tangganya."Where has the father gone?"
Dimana sih ayah-ayah mereka?
Anak-anak yang ditakdirkan menjadi pelaku sejarah
di atas hanyalah sebagian kecil di antara berjuta
anak yang sebenarnya tidak membutuhkan konseling
psikologi. Apa yang mereka butuhkan, namun
seringkali tidak mereka miliki adalah ayah yang
peduli padanya dan punya waktu untuk bersama.
Anak-anak itu tidak butuh tenaga psikiater tapi
dia butuh seseorang yang bisa dipercaya. Lalu
dimanakah ayah-ayah mereka
Ada dua jawaban:
PERTAMA: AYAH YANG ADA, TAPI SUKA MEMBOLOS
Tipe ini kita temukan dimana-mana. Di lapangan
golf, tenis, bulu tangkis, kantor dan tempat
lainnya. Ada ayah yang dinas luar (tugas kantor
atau dakwah) ke daerah daerah hampir setiap bulan.
Ada ayah yang bekerja, berangkat sesudah subuh dan
pulang larut malam. Ada juga ayah yang nongkrong,
tidur-tiduran di tempat tertentu hanya untuk
melegitimasi bahwa ia sibuk sepanjang hari.
Sehingga seolah-olah hanya ada waktu sisa buat
anak-anaknya. Kesimpulannya, ayah-ayah ini ada
dimana-mana,tapi mereka sering membolos dari waktu
bersama anaknya. Mereka (ayah-ayah ini) sulit
ditemukan di rapat-rapat POMG (Persatuan Orang Tua
Murid dan Guru), karena ada peninggalan purba yang
menyatakan bahwa urusan sekolah adalah hak mutlak
sang ibu. Kita jarang menemukan ayah ditempat
praktek dokter menggendong anaknya yang sakit.
Kita juga tidak melihatnya di kantor kepolisian
mengurus anaknya yang melakukan tindakan kriminal.
Ayah-ayah ini apabila ditanyakan pada mereka:
apakah yang penting dalam hidupmu? Biasanya mereka
menjawab: keluarga dan anak-anak. Naifnya, jawaban
ini sering tidak tercermin dalam kehidupan
sehari-hari, khususnya bagaimana mereka mengatur
waktu dan tenaga mereka sehari-hari antara
pekerjaan dan anak.
Simaklah dialog berikut ini:
Sang Anak:"Ayah, Yah main bola yuk?"
Sang Ayah: "O, ya. Ayah baca koran dulu!"
"O, ya. Ayah nonton berita dulu !"
"O, ya. Ayah janji main bola hari Sabtu!"
"O, ya. Ayah ada acara nih"
"O, ya. Ayah lagi cape ? "
"O, ya. Ayah lagi banyak kerjaan"
"O, ya. Ayah mau tapi ? "
Mungkin ayah seperti inilah yang dimaksudkan oleh
hasil need assesment dari Lembaga Demografi salah
satu universitas negeri di Jakarta. Jajak pendapat
itu menerangkan empat ciri menonjol ayah tipe
pertama ini. Cepat marah, jarang ada waktu ngobrol
dengan anak, ditakuti anak dan selalu menakar
seluruh pekerjaan dengan uang.
KEDUA: AYAH YANG ADA (FISIK) DAN RAJIN TAPI TIDAK
TAHU HARUS BERBUAT APA
Kita menemukan ayah-ayah ini sering berada di
rumah. Mereka mengerjakan banyak hal, tapi tidak
terlalu mengerti apa yang dikerjakannya. Sebuah
gelombang rutinitas menjebak dan membawanya
berputar-putar ke dalam pekerjaan yang memiliki
kualitas rendah. Anak-anak menjumpai tokoh ini
sepanjang waktu di rumah, namun sayangnya lambat
laun sang tokoh menjadi tidak berarti dalam
kehidupan mereka. Tidak ada lagi kejutan-kejutan
psikologis yang biasa ditunggu-tunggu anak dari
seorang ayah yang normal. Ritme komunikasi
berjalan tanpa greget dan hambar. Sebagian besar
korban Narkoba dan pelecehan seksual di kalangan
remaja memiliki ayah tipe kedua ini.
Bukan Superman tapi Superstar
Benar, ayah bukanlah superman, tapi ia adalah
superstar. Ia bintang di tengah keluarga. Ia
pembawa dan penentu model sekaligus agen sosial.
Lewat aksi panggungnya yang memikat, ia
menggemuruhkan keceriaan keluarga. Tapi,sebagai
seorang bintang, ia tidak lahir dengan
sendirinya.Ia membutuhkan dukungan.
Norma Tarazi dalam bukunya The Child menerangkan
ini dengan baik. katanya:
Peran ayah itu digambarkan dengan jelas. Bahkan
lebih jelas dari peran ibu, karena bagi lelaki
peran ayah bukanlah peran instinktif. Peran ini
lebih membutuhkan bimbingan sosial daripada wanita
dengan perannya sebagai ibu. Sebelum dukungan
datang dari luar, maka sang ayah harus mencari
dukungan dari dirinya sendiri. Mereka haruslah
secara kontinyu merangsang dialog dengan hati
nurani secara intens dan apresiatif. Dialog-dialog
ini harus mampu meyakinkan bahwa ia tidaklah
satu-satunya ayah yang sedang belajar menjadi
superstar. Bahwa anak-anak membutuhkan cinta,
dukungan, dorongan dan perlindungannya. Bahwa
melalui anak-anak para orang tua diajarkan makna
hidup, cinta, kesucian,kesabaran dan sebagainya.
Bahwa anak-anak melihat dunia luar dengan
perantara jendela sang superstar.
Dukungan dalam diri tidak akan berarti tanpa tekun
dan sabar berlatih. Sampai suatu saat hilangnya
kekakuan dalam berhadapan dengan anak-anak.
Muncullah ayah yang dengan ikhlas membantu anaknya
mengerjakan PR, memandikan anak, mencuci baju dan
belanja. Ayah yang membacakan buku cerita untuk
anaknya, mengantar anak les komputer. Ayah-ayah
inilah yang akan membuat dunia ini berputar dan
menjawab pertanyaan "where have all the fathers
gone?" dengan "Here I am. Now and forever!"
Semoga bermanfaat.